Senin, 11 Juni 2018

Senja yang telah usai

Minggu, bulan ramadhan hari ke 25. kali ini Aku sedang bercumbu dengan angin malam kota Bandung. Gemerlap lampu kota memanjakan mata, Bandung nampak elegan di malam hari. Baru saja Aku selesai melaksanakan buka bersama dengan teman pesantrenku. Sungguh momen yang tak akan terlupakan. Bukber kali ini bertempat di Saung Riri daerah pesawahan Buah Batu. Saat itu Aku tersadar, masih ada sudut kota Bandung yang memanjakan mata dengan hamparan sawah dan pegunungan jarak jauh juga kolam-kolam ikan yang cukup besar.
Mengumpulkan manusia-manusia macam teman-temanku sangatlah sulit. Sampai-sampai aku dibuat pusing hanya karena ingin mengumpulkan Mereka di satu titik, di sebuah peraduan dari rindu-rindu yang sudah berserakan. Dari mulai galau menentukan kapan waktu, dimana tempat, dan tektek bengek lainnya. Alhamdulillah Riri bersedia menampung Kami, para makhluk yang selalu recet, apalagi bukber kali ini dihadiri oleh sang legendaris Syaikhuna Aden Aman Asy'ari dan Kanjeng Fitri Handayani. Mereka berdua adalah maskot dan pemicu meledaknya rentetan tawa ditengah-tengah lingkaran kita.
De Esa yang galau karena jarak dan juga perizinan akhirnya melakukan ke-so-sweet-an dengan mengusahakan hadir di bukber Reaksi tahun 2018. Fitri yang sudah jadi seorang istri dan juga Ibu rumah tangga rela meminta izin suaminya agar dapat kumpul kembali. Lina yang tadinya galau karena tempat yang cukup jauh akhirnya ikut menambah kehangatan malam tadi. Sari yang rela menunda jadwal mudiknya hanya demi sesuap nasi bersama teman rasa keluarga (reaksi). Tiana yang jauh-jauh dari rajamandala rela membawa ojek cintanya yang akhirnya kena juga sama pertanyaan pamungkas dari kita "kapan ngehalalin Tiana?". Ahmad, Ikbal, Aden rela bermacet-macetan di jalan dan dengan so sweet nya mereka menjemputku yang tak ada kendaraan buat ke rumah Riri bikeus my vario dibawa my Babeh buat diservis. Herda yang tadinya sempat urung ikut, akhirnya datang juga bersama sang dewinya. Zaki yang setiap harinya selalu disibukkan dengan jadwal mengajar di masjid akhirnya rela meminta izin dan meluangkan waktunya untuk hadir. Dan tentunya Riri sang tuan rumah yang baru saja pulang kerja menjelang magrib rela gudag gidig demi kita semua.
Ada teman lain yang ingin hadir tapi tak bisa. karena terkendala jarak, kesehatan, keluarga, perizinan ataupun lainnya. Selamat menumpuk rindu pada keranjang-keranjang yang mulai usang.
Alangkah gelinya diriku, hampir setiap yang datang menanyakan hal yang sama pada fitri, bahkan ketika main jujur2an pertanyaan untuk fitri masih dengan tema yang sama, "Fit, gimana rasanya nikah?" dan De Esa yang paling kepo "Fit, gimana malam pertama?" dan pertanyaan geli lainnya dari anak laki-laki. Dari hasil jujur-jujur-an itu, Aku sedikitnya dapat memahami kegalauan dan rasa syukur dari setiap orang atas hidup yang dijalaninya sejauh ini.
Ada yang mengganjal di pertemuan kemarin malam, rencana awal Kita (terutama Aku dan Ahmad) sepakat kalau Kita tidak boleh meninggalkan shalat tarawih. Apa daya Aku pun ikut terlena, bukan tak ingat, hanya bingung harus berbuat apa, hanya tak tega mengehentikan tawa yang sedang beradu. :(( Saat itu Aku sangat berharap ada yang lebih luas hati menghentikan nikmatnya memadu tawa untuk melakukan salah satu ibadah sunah di bulan ramadhan.
Tanpa terasa waktu cepat berlalu, karena Aku melaluinya bersama orang-orang yang begitu Aku cintai. Kami semua harus pulang dan menikmati angin malam di perjalanan bersama dunia masing-masing di kepalanya. Aku berani bertaruh, meski tujuan pulang kami berbeda, kami memiliki dunia yang sama, dunia yang dijejali rindu setelah melalui singkatnya sebuah pertemuan.

Sampai jumpa dilain hari kawan, dimanapun Kau berada, sejauh apapun kau pergi, bersama siapapun Kau hidup, jangan pernah lupakan hidangan malam tadi, sepiring rindu dan secangkir cerita. Jangan lupa juga selipkan namaku, namanya, nama Mereka, dalam setiap untaian doa-doamu yang melangit. Jarak diantara kita hanyalah pemicu agar rindu-rindu itu tak pernah berkurang, jadi jangan khawatirkan itu. Meskipun Aku belum pernah melihat apalagi mengalami sebuah "Keabadian", tapi Aku berharap, ikatan diantara kita adalah abadi, sampai kita berada di tempat paling mulia bernama "Surga". Semoga Allah memperkenankan Kita bertemu kembali di waktu-waktu berikutnya.

Rabu, 06 Juni 2018

Dibalik sehelai masker

Hari ini kedua kali aku beranikan diri untuk membuka maskerku ketika pergi keluar setelah kemarin malam tarawih di masjid. Sejak insiden sabtu sore di minggu lalu, aku tak berani menunjukkan wajahku pada siapapun kecuali orang yang ada di rumah. Mungkin selama berhari-hari tak pernah ada yang curiga, mengapa aku selalu menggunakan masker kemanapun. Bahkan sekedar beli telur ke warung depan pun aku menggunakan masker.

Sudah Aku duga, akan banyak sekali pertanyaan ataupun hanya sebuah tatapan yang mungkin tanpa mereka sadari membuatku sedikit tersipu. Ketika itu terjadi, aku tak dapat berbuat banyak, hanya menjawab pertanyaan seadanya dan memaksakan senyum.

Bagiku, dilepasnya kembali maskerku dihadapan orang-orang adalah sesuatu yang luar biasa. Hanya gara-gara prosesi pelepasan masker itu aku jadi menemukan berbagai pandangan. Ada yang melihat iba, ada yang melecehkan, ada juga yang memberi saran.

Yang membuatku malu adalah "kenapa selama ini aku harus malu?" Yang benar-benar peduli tidak akan menjauh hanya karena luka berdiameter 2 cm.

Selain hal diatas, yang membuatku lebih bersyukur adalah, ada banyak doa yang terucap ketika aku menekan rasa malu terhadap sesuatu dibalik maskerku.

Terimakasih masker...