Nama : Ika Hasanah
NIM
: 1132080039
Jur/prodi : Pend. MIPA / Pend. Kimia
Dosen : Prof. Dr. Muhibbin Syah, M.Pd
Dra. Yuyun Yulianingsih, M.Pd
PERKEMBANGAN SOSIAL DAN MORAL
PESERTA DIDIK
A.
Deskripsi Perkembangan Sosial dan Moral
Perkembangan
sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial atau proses
belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan
tradisi. Meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan
bekerja sama. Tuntutan sosial pada perilaku sosial anak tergantung dari
perbedaan harapan dan tuntutan budaya dalam masyarakat tempat anak
tumbuh-kembang, serta usia dan tugas perkembangannya. Setiap masyarakat
memiliki harapan sosial sesuai budaya masyarakat tersebut. Pada masyarakat
pedesaan, anak usia 4-5 tahun tidak mesti masuk Taman Kanak-Kanak. Tetapi,
budaya masyarakat kota menuntut anak usia tersebut bersekolah di TK.
Istilah
moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam
kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan
ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar. Moral merupakan kaidah norma dan pranata
yang mengatur perilaku individu dalam kehidupannya dengan kelompok sosial dan
masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu
sebagai anggota sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan
seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang.
Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh
keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.
Tokoh
yang paling terkenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan moral
adalah Lawrence E. Kohlberg (1995). Melalui desertasinya yang sangat monumental
yang berjudul The Development of Modes of Moral Thinking and Choice in the
Years 10 to 16. Berdasarkan penelitiannya itu, Kohlberg (1995) menarik
sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
a.
penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat
rasional.
b.
Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai
dengan pandangan formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja
untuk mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya.
c.
Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja
sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan
moral.
Bagi seorang anak perkembangan moral itu
akan di kembangkan melalui pemenuhan kebutuhan jasmaniah (dorongan nafsu
fisiologi) untuk selanjutnya dipolakan melalui pengalaman dalam lingkungan
keluarga, sesuai dengan nilai-nilai yang di berlakukannya. Maka disinilah
sebenarnya letak peranan utama bagi orang-orang yang paling dekat atau akrab
dengan anak (terutama ibu) dalam memberikan dasar-dasar pola perkembangan moral
anak berikutnya.
Piaget
dan Kohlberg menekankan bahwa pemikiran moral seorang anak, terutama di
tentukan oleh kematangan kapasitas kognitifnya. Sedangkan disisi lain,
lingkungan sosial merupakan pemasok materi mentah yang akan diolah oleh ranah
kognitif anak secra aktif.
B.
Alternatif Upaya Pengembangan Sosial dan Moral
1. Pengembangan Sosial
a.
Cara Peningkatan Potensi Sosial
Para ahli pendidikan menegaskan, ada
dua cara untuk menanamkan nilai-nilai sosial dalam pendidikan. Pertama, melalui
proses belajar sosial (social learning) atau sosialisasi. Kedua melalui
kesetiaan sosial yaitu dengan memainkan peran sosial sesuai dengan nilai yang
dianut di masyarakat.
1)
Belajar Sosial
Belajar sosial berarti belajar
memahami dan mengerti tentang perilaku dan tindakan masyarakat.
Peserta didik diajarkan mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola nilai dan
tingkah laku dengan standar tingkah laku dimana ia hidup.
Selanjutnya, semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses
sosialisasi itu, menjadi bagian integratif peserta didik dengan masyarakat.
Proses seperti inilah yang dapat menumbuhkan kecakapan sosial peserta didik.
2)
Pembentukan Kesetiaan Sosial
Melalui
proses pembentukan kesetiaan sosial (formation of social loyalities).
perkembangan kesetiaan sosial ini muncul berkat kesadaran peserta didik
terhadap kehidupan ditengah-tengah masyarakat. Masyarakat merupakan sumber
kesetiaan bagi anggotanya. Sebab-sebab munculnya kesetiaan sosial diantaranya
adalah partisipasi sosial, komunikasi dan kerjasama individu dalam kehidupan
kelompok. Peserta didik yang hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara
spontan diterima sebagai anggota baru. Sebagai anggota baru, peserta didik
belum mengetahui pola dan system perilaku orang yang ada di sekelilingmya.
Contoh sederhananya adalah seperti pada kasus anak yang baru bisa berjalan,
setiap anggota masyarakat menyapa, menggandeng dan ikut membantu berjalan anak.
Respon anak adalah kemesraan dan afeksi (kepuasan) sehingga berjumpa
lagi dengan orang tersebut si anak langsung tersenyum dan bergerak
mendekatinya.
Bentuk kesetiaan sosial berkembang
menjadi semakin komplek kepada kelompok yang makin besar. Kesetiaan sosial
dimulai dari keluarga, teman sebaya dan sekolah. Biasanya kelompok ini disebut
dengan kelompok primer, dimana setiap anggota kelompok dapat berinteraksi
secara langsung dan face to face. Kemudian kesetiaan sosial berkembang seiring
dengan perkembangan kedewasaan peserta didik, semakin dewasa peserta didik
semakin berkembang kesetiaan sosialnya kepada kelompok pekerjaan, kelompok
agama, perkumpulan (organisasi), baik kemasyarakatan maupun bangsa.
Perkembangan yang lebih luas dan besar ini disebut lingkungan sekunder, dimana
seluruh anggota kelompok mencerminkan seorang individu yang komplek.
b.
Pengembangan Kecerdasan Sosial
Dalam mengembangkan kecerdasan
sosial ada beberapa teknik yang sering dipakai diantanya adalah sebagai
berikut:
a)
Teknik Sosialisasi
Pada dasarnya, sosialisasi
memberikan dua kontribusi fundamental bagi kehidupan kita. Pertama, memberikan
dasar atau fondasi kepada individu bagi terciptanya partisipasi yang efektif
dalam masyarakat, dan kedua memungkinkan lestarinya suatu masyarakat–karena
tanpa sosialisasi akan hanya ada satu generasi saja sehingga kelestarian
masyarakat akan sangat terganggu. Contohnya, masyarakat Sunda, Jawa, Batak, dan
sebagainya. akan lenyap manakala satu generasi tertentu tidak mensosialisasikan
nilai-nilai kesundaan, kejawaan, kebatakan kepada generasi berikutnya. Agar dua
hal tersebut dapat berlangsung maka ada beberapa kondisi yang harus ada agar
proses sosialisasi terjadi. Pertama adanya warisan biologikal, dan kedua adalah
adanya warisan sosial (Sudjana, 1993).
Sosialisasi juga menuntut adanya
lingkungan yang baik yang menunjang proses tersebut, di mana termasuk di
dalamnya interaksi sosial. Kasus di bawah ini dapat dijadikan satu contoh
tentang pentingnya lingkungan dalam proses sosialisasi. Susan Curtiss (1977)
menaruh minat pada kasus anak yang diisolasikan dari lingkungan sosialnya. Pada
tahun 1970 di California ada seorang anak berusia tigabelas tahun bernama Ginie
yang diisolasikan dalam sebuah kamar kecil oleh orang tuanya. Dia jarang sekali
diberi kesempatan berinteraksi dengan orang lain. Kejadian ini diketahui oleh
pekerja sosial dan kemudian Ginie dipindahkan ke rumah sakit, sedangkan orang
tuanya ditangkap dengan tuduhan melakukan penganiayaan dengan sengaja. Pada
saat akan diadili ternyata ayahnya bunuh diri.
Sosialisasi melibatkan proses
pembelajaran. Pembelajaran tidak sekedar di sekolah formal, melainkan berjalan
di setiap saat dan di mana saja. Belajar atau pembelajaran adalah modifikasi
perilaku seseorang yang relatif permanen yang diperoleh dari pengalamannya di
dalam lingkungan sosial/fisik. Seseorang selalu mengucapkan salam pada saat
bertemu orang lain yang dikenalnya; perilaku tersebut merupakan hasil belajar
yang diperoleh dari lingkungan dimana dia dibesarkan.
Berdasarkan teori pembelajaran
sosial, pembelajaran terjadi melalui dua cara. (1) dikondisikan, dan (2) meniru
perilaku orang lain. Tokoh utama pendekatan pertama adalah B.F. Skinner (1953),
yang terkenal dengan konsep operant conditioning – Berdasarkan berbagai
percobaan melalui tikus dan merpati, Skinner memperkenalkan konsepnya tersebut.
Perilaku yang sekarang ditampilkan merupakan hasil konsekuensi positif atau
negatif dari perilaku yang sama sebelumnya. Seorang anak rajin belajar karena
memperoleh hadiah dari orang tuanya. Seorang murid yang mempeoleh nilai baik,
dipuji-puji didepan orang banyak. Memuji, memberi imbalan, merupakan cara untuk
memunculkan bentuk perilaku tertentu. Memarahi, memberi hukuman, merupakan cara
untuk menghilangkan perilaku tertentu. Dengan demikian jika generasi awal ingin
melestarikan berbagai bentuk perilaku kepada generasi sesudahnya, maka kepada
setiap perilaku yang dianggap perlu dilestarikan harus diberikan imbalan.
Seorang anak diminta berdoa sebelum makan, dan setelah selesai berdoa, orang
tuanya memujinya.
b)
Teknik SPACE
Albrecht dalam bukunya The New
Science of Success menyebutkan lima elemen kunci yang bisa mengasah
kecerdasan sosial kita, yang ia singkat menjadi kata SPACE. Elemen pertama
adalah kata S yang merujuk pada kata situational awareness (kesadaran
situasional). Makna dari kesadaran ini adalah sebuah kehendak untuk bisa
memahami dan peka akan kebutuhan serta hak orang lain. Orang yang tanpa rasa
dosa mengeluarkan gas di lift yang penuh sesak itu pastilah bukan tipe orang
yang paham akan makna kesadaran situasional. Demikian juga orang yang merokok
di ruang ber AC atau yang merokok di ruang terbuka dan menghembuskan asap
secara serampangan pada semua orang disekitarnya.
Elemen yang kedua adalah presense
(atau kemampuan membawa diri). Meliputi etika penampilan seseorang, tutur kata
dan sapa yang seseorang bentangkan, gerak tubuh ketika bicara dan mendengarkan
adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Setiap orang pasti akan
meninggalkan impresi yang berlainan tentang mutu presense yang dihadirkannya.
Seseorang tentu bisa mengingat siapa rekan atau atasan yang memiliki kualitas
presense yang baik dan mana yang buruk.
Elemen yang ketiga adalah
authenticity (autensitas) atau sinyal dari perilaku kita yang akan membuat
orang lain menilai kita sebagai orang yang layak dipercaya (trusted), jujur,
terbuka, dan mampu menghadirkan sejumput ketulusan. Elemen ini amat penting
sebab hanya dengan aspek inilah kita bisa membentangkan berjejak relasi yang
mulia nan bermartabat.
Elemen yang keempat adalah clarity
(kejelasan). Aspek ini menjelaskan sejauh mana seseorang dibekali kemampuan
untuk menyampaikan gagasan dan ide secara renyah dan persuasif sehingga orang
lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Seringkali seseorang memiliki
gagasan yang baik, namun gagal mengkomunikasikannya secara cantik sehingga
atasan atau rekan kerja kita tidak berhasil diyakinkan. Kecerdasan sosial yang
produktif hanya akan bisa dibangun manakala seseorang mampu mengartikulasikan
segenap pemikiran dengan penuh kejernihan.
Elemen yang terakhir adalah empathy
(atau empati). Aspek ini merujuk pada sejauh mana kita bisa berempati pada
pandangan dan gagasan orang lain. Dan juga sejauh mana kita memiliki
ketrampilan untuk bisa mendengarkan dan memahami maksud pemikiran orang lain.
Kita barangkali akan bisa merajut sebuah jalinan relasi yang guyub dan
meaningful kalau saja kita semua selalu dibekali dengan rasa empati yang
kuat terhadap sesama rekan kita.
2. Pengembangan Moral
Tahap-tahap perkembangan moral menurut
Lawrence E. Kohlbert (1995), yaitu sebagai berikut:
a. Tingkat Prakonvensional
Tingkat prakonvensional adalah
aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu/anak
berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya baik berupa sesuatu yang
menyakitkan atau kenikmatan.
Tingkat prakonvensional memiliki dua
tahap, yaitu:
1. Orientasi hukuman
dan kepatuhan
Pada tahap ini, akibat-akibat fisik pada
perubahan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi
dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghidari hukuman dan tunduk pada
kekuasaan tanpa mempersoalkannya.
2. Orientasi
relativis-instrumental
Pada tahap ini, perbuatan dianggap benar
adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya
sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia
diipandang seperti huubungan di pasar yang berorientasi pada untung-rugi.
b. Tingkat
Konvensional
Tingkat konvensional atau konvensional
awal adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi atas dasar
menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat.
Tingkat konvensional memiliki dua tahap,
yaitu:
1. Orientasi
kesepakatan antara pribadi atau desebut orientasi “Anak Manis”
Pada tahap ini, perilaku yang dipandang
baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh
mereka.
2. Orientasi hukum
dan ketertiban
Pada tahap ini, terdapat orientasi
terhadap otoritas, aturan yang tetap, penjagaan tata tertib sosial. Perilaku
yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menhormati otoritas,
aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial yang ada. Semua ini
dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.
c. Tingkat
Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan Prinsip
Tingkat pascakonvensional adalah
aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan
nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan,
terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip tersebut
dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut.
Tingkat pascakonvensional memiliki dua
tahap, yaitu:
1. Orientasi kontrak
sosial legalitas
Pada tahap ini, individu pada umumnya
sangat bernada utilitarian. Artinya perbuatan yang baik cenderung dirumuskan
dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis
dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini terdapat kesadaran yang
jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai dengan relativisme
nilai tersebut. Terdapat penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai
kesepakatan, terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan
demokratis, dan hak adalah masalah nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah
penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan
untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial.
Di luar bidang hukum, persetujuan bebas, dan kontrak merupakan unsur pengikat
kewajiban .
2. Orientasi prinsip dan etika universal
Pada tahap ini, hak ditentukan oleh suara
batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu
kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsestensi logis.
Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan moral
konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas,
persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi.
REFERENSI :
Psikologi Pendidikan (Muhubbin
Syah : 2013)
Psikologi Perkembangan
(Abu Ahmadi & Munawar Sholeh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar